Sepeda Ontel dan Sejarahnya di Indonesia

Tikum Bicycle – Sepeda Ontel atau Sepeda Unta adalah alat transportasi klasik di Indonesia, seperti apa sejarahnya dan kisah sepeda ini? Yuk, simak selengkapnya

Sepeda unta adalah sebutan lain untuk sepeda ontel, sejarahnya sepeda ini merupakan alat transportasi yang lazim digunakan orang-orang Indonesia tempo dulu dan berbagai dokumentasi foto lawas juga sering menunjukkan bahwa sepeda ontel sangat digemari oleh masyarakat perkotaan. pada sekitar tahun 1930-an dan memang mudah sekali menemukan sepeda klasik ini di wilayah perkotaan pada saat itu.

Sepeda yang juga disebut pit pancal ini memiliki roda berdiameter 28 inci. Material sepeda pun sangat kuat dan tahan lama. Posisi sadel terbilang cukup tinggi dan setang dipasang sejajar dengan sadel. Hal ini mengharuskan pengemudinya duduk tegak. Ciri khas lain ada pada rantai sepeda yang memiliki penutup, sehingga mempercantik tampilan sepeda. Pada bagian roda depan, ada dinamo yang berfungsi menghidupkan lampu, dan Rem drum melengkapi sepeda yang giginya tak bisa diutak-atik.

Masyarakat Indonesia mengenal sepeda ini sejak zaman Hindia Belanda. Kebiasaan bersepeda masyaraka Pribumu dalam mengikuti kebiasaan orang Belanda. Di Belanda sendiri, masyarakatnya kerap bepergian dengan sepeda. Di sana, menemukan sepeda semudah kita melihat sepeda motor pada saat ini.

Penelusuran sejarah menunjukkan, foto tertua keberadaan sepeda ini di Indonesia bertahun 1895. Kemudian memasuki abad ke-20, secara bertahap sepeda-sepeda tersebut diekspor ke Indonesia dari Negeri Kincir Angin.

Beberapa merek sepeda yang mudah ditemui di Indonesia antara lain Fongers, Simplex, Burger, Gazelle, dan Hartog. Belakangan merek buatan Eropa lainnya juga dikirim ke Indonesia, seperti buatan Inggris dan Jerman. Namun, jumlahnya tak sebanyak pabrikan Belanda.

Rupanya, sepeda produksi Belanda ini sengaja dibawa para penjajah ke Indonesia. Mereka sadar cuaca di Indonesia sangat bersahabat dan cocok untuk bersepeda.

Kebiasaan ini pun diikuti oleh kaum bangsawan Indonesia. Situasi inilah yang menjadikan sepeda sebagai simbol status sosial seseorang pada masa itu. Sepeda hanya milik mereka yang berstatus sosial tinggi. Tak semua orang bisa mempunyai dan mengendarai sepeda.

Namun, sepeda ini hanya populer di perkotaan hingga tahun 1970-an. Masuknya sepeda motor mengubah kebiasaan bersepeda masyarakat kota. Walhasil populasi pengguna sepeda pun bergeser ke pedesaan. Pemandangan masyarakat desa bersepeda untuk berangkat bekerja setiap pagi masih sering ditemui di beberapa wilayah Indonesia, antara lain di Jogjakarta.

Seiring waktu, jumlah sepeda ini berkurang dari tahun ke tahun. Kebanyakan mungkin rusak termakan usia. Namun, hal tersebut justru menaikkan kembali pamor sepeda lawas. Seperti halnya barang kuno, semakin tua semakin antik. Semakin sedikit jumlahnya, semakin langka barangnya, maka semakin mahal harga sepeda tersebut.

Bahkan, para kolektor sepeda lawas tak hanya orang tua, tetapi juga merambah ke generasi muda. Para penggemar sepeda antik ini pun bergabung dalam berbagai komunitas, salah satunya Komunitas Sepeda Tua Indonesia (KOSTI).

Di Kawasan Kota Tua, Jakarta, Sobat Tikum masih bisa melihat dan menemukan sepeda ontel dengan mudah. Ada yang berfungsi sebagai ojek sepeda, ada pula yang disewa untuk berkeliling di sekitar Museum Sejarah Jakarta.

Jika belum pernah mencobanya, Yuk sempatkan akhir pekan ini mampir ke kawasan Kota Tua. Selamat bersepeda

Tinggalkan pesan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.