Seni dalam Gerakan Kebangkitan Para Wanita di Dunia

Wanita dan seni memiliki hubungan yang erat. Termasuk dalam perannya sebagai media dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Seperti apa?

Katanya, wanita adalah perhiasan dunia. Tidak heran jika wanita lebih sering diposisikan sebagai objek ketimbang subjek dalam seni. Ada banyak pelukis dan penyair yang menjadikan wanita sebagai inspirasinya. Namun, hanya segelintir wanita yang menjadi pelakunya.

Sayangnya, pujian tersurat atas keindahan wujud wanita sepertinya sekaligus menjadi batas bahwa wanita tidak akan bisa melakukan berbagai hal yang dilakukan para pria, termasuk dalam bidang seni.

Memasuki abad ke-20, perjuangan dalam menuntut berbagai kesetaraan mulai muncul. Salah satunya adalah kesetaraan gender dengan hadirnya gerakan feminisme. Salah satu ‘senjata’ yang cukup ampuh untuk menyampaikan pesan tentang persamaan gender adalah seni.

Awal Mula Revolusi

Pada tahun 1971, seorang seniman sejarah, Linda Nochlin pernah menulis sebuah artikel yang isinya menanyakan, “Mengapa Tidak Pernah Ada Seniman Wanita Hebat?”. Ini sebenarnya bukan sungguh-sungguh sebuah pertanyaan. Melainkan sebentuk sindiran karena kenyataannya posisi perempuan sebagai seniman memang kerap diabaikan.

Beberapa wanita yang beruntung mendapat pengakuan adalah Georgia O’Keeffe. Ia berhasil menciptakan seni lukis dengan gayanya sendiri dan sukses karena itu. Meski begitu, tetap banyak orang yang mengira bahwa kesuksesannya adalah berkat sang suami yang merupakan seorang fotografer terkenal, Alfred Stieglitz.

Ketika Yoko Ono melakukan pemotretan telanjang pada tahun 1964, tak ayal publik geger dibuatnya. Padahal secara tersirat, apa yang dilakukan oleh istri John Lennon itu merupakan bentuk protes tentang kekerasan yang kerap dialami oleh perempuan. Ini merupakan protes bersejarah mengingat pada masa itu, suara perempuan masih kerap dibungkam.

Gerakan Seni Para Feminis

Sejak saat itu, seni mulai dilihat sebagai media yang kuat untuk memperkenalkan dunia dari sudut pandang para wanita. Tentang bagaimana status sosial-politik mereka, menggambarkan kehidupan, pengalaman pribadi sekaligus menunjukkan tubuh wanita dari sisi berbeda. Bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek.

Tujuan dari semua aktivitas itu adalah untuk menciptakan perubahan. Terlebih selama ini banyak seniman perempuan yang diabaikan oleh berbagai institusi. Mereka kesulitan memamerkan karya di museum maupun galeri. Kalaupun berhasil, mereka harus melakukannya sendiri.

Para wanita mulai menciptakan peluang dengan membuat galeri sendiri. Mereka mengurasi dan mempromosikan karya-karya seniman perempuan, kemudian memublikasikan dan memberitahu dunia bahwa wanita juga bisa jadi seniman hebat. Mereka bahkan mendirikan sekolah untuk seni feminis.

Judy Chicago adalah sosok yang mengajar kelas seni wanita pertama pada musim gugur di Fresno tahun 1970. Tidak berhenti di sana, Judy mendirikan Womanhouse, di mana pameran seni feminis kolaboratif berkembang menjadi studi feminis. Di sanalah dia memperkenalkan konsep seni feminis kolaboratif kepada khalayak.

Bisa dikatakan, apa yang terjadi hari ini juga berasal dari perjuangan para feminis. Dan seni menjadi salah satu media yang berhasil menciptakan revolusi. Seniman visual wanita seperti Tracey Emin, Shirin Neshat hingga Barbara Kruger menciptakan nama besar mereka sebagai seniman perempuan. Sesuatu yang mungkin sulit dibayangkan dua puluh tahun sebelumnya. Karya seni mereka masih terus menginspirasi para pejuang perempuan untuk mempertahankan hak-hak yang seharusnya mereka miliki.

Wanita memang akan tetap menjadi sumber inspirasi seni karena keindahannya. Tapi, melalui seni juga para wanita berhasil membawa diri mereka melewati perjuangan untuk bisa diakui lebih dari sekadar objek semata.

Tinggalkan pesan

Alamat email anda tidak akan disiarkan.