Tikum Kuliner – Kehadiran nastar nanas saat lebaran sama sekali bukan hal baru. Namun, tahukah Anda bahwa sejarah nastar di Indonesia ternyata cukup panjang?
Salah satu tanda makin mendekatnya hari raya adalah dengan makin banyaknya aneka kue kering dan cake yang dijual. Selain untuk persiapan di rumah sendiri, kue kering dan cake juga makin banyak diburu untuk keperluan berbagi hampers dengan keluarga, sahabat, kolega, maupun orang-orang terkasih lainnya.
Di antara kian banyaknya aneka kue kering dan cake lebaran yang bermunculan, nastar masih menjadi primadona yang seolah tak lekang oleh waktu. Cake yang identik dengan bentuk bulat dan isian selai nanas ini memang sangat identik dengan Idul Fitri. Sajian yang satu ini bahkan mulai banyak dibuat variasinya seperti dengan tambahan keju, lapisan cokelat, dan lain-lain.
Namun sebenarnya, bagaimana sejarah nastar sampai bisa menjadi makanan ikonik saat lebaran?
Berasal dari Belanda
Rupanya, nastar merupakan kata serapan nastaart yang berasal dari bahasa Belanda. Nastaart sendiri merupakan gabungan dari dua kata: ananas yang berarti nanas dan taartjes yang berarti kue atau pai.
Nastar menyebar ke nusantara saat Belanda menjajah Hindia Belanda beberapa abad lalu. Namun sebenarnya, nastar sendiri merupakan hasil modifikasi. Resep sajian ini terinspirasi dari olahan pai Belanda yang biasa dibuat dalam loyang besar dengan isian selai blueberry, stroberi, maupun apel.
Adapun berdasarkan asal usulnya ini, nastar sesungguhnya tidak termasuk dalam kategori kue kering. Nastar toh mempunyai tekstur yang lembut dan lembap sehingga termasuk dalam kategori cake alih-alih kue kering yang memiliki tekstur renyah atau garing.
Modifikasi ala Nusantara
Sayangnya, mencari tiga buah tersebut dengan tekstur kematangan yang sama seperti yang ada di Belanda bukanlah perkara mudah. Orang-orang Belanda lantas menggunakan buah nanas untuk digunakan sebagai isian adonan. Nanas dipilih karena relatif mudah dan banyak ditemukan serta cita rasanya yang asam, manis, dan segar—sesuai dengan cita rasa yang biasa diperoleh dari blueberry, stroberi, dan apel.
Sejarah nastar juga mencatat adanya modifikasi pada bentuk nastar. Jika biasanya dibuat dalam loyang-loyang besar, maka nastar Indonesia dibuat dalam bentuk bulatan kecil-kecil seperti yang biasa kita nikmati sekarang. Tujuannya tak lain adalah untuk lebih mudah dikonsumsi.
Pun dengan kian meluasnya informasi tentang kuliner dan kemudahan memperoleh beberapa bahan, masyarakat kian berinovasi. Sebut saja beberapa kreasi seperti nastar matcha, nastar isian kurma, nastar gulung, nastar keju kenari, dan masih banyak lainnya.
Nastar Sebagai Kue Perayaan dan Lambang Kemakmuran
Dulu nastar hanya disajikan untuk para bangsawan atau kaum priyayi dan orang-orang kaya pada hari-hari perayaan besar. Namun lambat laun, resep nastar menyebar sehingga lebih merakyat dan siapa pun bisa membuatnya. Tentunya, tradisi menghadirkan cake ini di hari-hari besar pun tetap terbawa hingga kini—termasuk lebaran mengingat momen ini merupakan salah satu hari perayaan terbesar di Indonesia.
Kendati begitu, nastar juga bukannya tak muncul di perayaan lainnya. Nastar yang dinilai melambangkan datangnya keberuntungan kerap pula hadir di perayaan Imlek yang menjadi hari besar bagi masyarakat keturunan Tionghoa.
Nastar disebut dengan istilah ong lai dalam bahasa Hokkian yang memiliki makna serupa keberuntungan datang ke jalanmu. Warna kuning keemasan sekaligus rasa manis dari isian nanas merupakan lambang rezeki manis dan melimpah. Pun dalam perayaan Imlek secara umum, nanas juga merupakan salah satu daftar buah yang wajib ada karena melambangkan keberuntungan dan kekayaan.
Nah, itulah sejarah nastar, kudapan yang identik dengan lebaran. Sudahkah Anda punya stok nastar nanas yang cukup untuk makin meriahkan Idul Fitri tahun ini?