Dortmund dan Bayern Tidak Masuk Dirty Dozens ESL, Ini Alasannya
ESL menciptakan kekisruhan dalam jagat sepakbola Eropa. Ketika klub Serie A, La Liga, dan Premier League terlibat, mengapa tidak ada klub Bundesliga?
Tikum Bola – ESL menciptakan kekisruhan dalam jagat sepakbola Eropa. Ketika klub Serie A, La Liga, dan Premier League terlibat, mengapa tidak ada klub Bundesliga? Seperti diketahui, 12 klub pendiri ESL yang dipanggil Dirty Dozens oleh publik berasal dari tiga negara kiblat sepakbola dunia. Enam klub dari English Premier League, serta masing-masing tiga klub dari Serie A Italia dan La Liga Spanyol.
Namun, mengapa tidak ada satu pun klub Bundesliga yang terlibat? Berikut ulasan lengkapnya.
Baru Tiga Negara Gabung ESL
Usul Florentino Pérez, Presiden Real Madrid, terkait kompetisi yang mempertemukan klub raksasa Eropa kembali mencuat seiring ambruknya kondisi finansial klub akibat situasi pandemi virus corona. Gayung pun bersambut dari para sejawatnya. Bersama-sama 12 tim papan atas Benua Biru menginisiasi kehadiran European Super League atau ESL.
Enam klub Inggris yang masuk status pendiri ESL adalah Manchester United, Liverpool, Arsenal, Manchester City, Chelsea, dan Tottenham Hotspur. Negeri Matador tentu saja diwakili Real Madrid, Barcelona, dan Atletico Madrid. Sementara, Italia diwakili Inter Milan, Juventus, dan AC Milan.
Dalam rilis resmi beberapa waktu lalu, ESL direncanakan berjalan mulai Agustus 2021. Rilis tersebut sontak memantik perdebatan dan kecaman dari berbagai kalangan. Pérez berpandangan di tengah situasi sulit yang dihadapi dunia olahraga akibat pandemi, ESL jadi jalan terakhir para klub untuk memulihkan kondisi finansial mereka.
Banyak pihak yakin ESL membuat klub kaya semakin kaya, bukan karena alasan lain. UEFA pun bersiap menjatuhkan sanksi pada klub-klub yang terlibat. Namun, hanya 48 jam usai rilis resmi, enam klub Inggris mundur dari proyek tersebut. Ini membuat rencana ESL kandas sebelum dimulai.
Kekuatan Fans Klub Jerman
Pertanyaan menggelitik pun muncul, mengapa tidak ada nama Borussia Dortmund dan Bayern Munich di dalam ESL? Padahal, bicara soal prestasi, kapasitas tim, plus finansial, dua klub raksasa Jerman punya rekam jejak mentereng.
Usut punya usut, kedua klub raksasa Bundesliga itu disebut tidak yakin dengan ESL. Alih-alih membuat kompetisi baru, Dortmund justru ingin adanya reformasi Champions League lewat European Clubs Association (ECA).
Hal serupa disampaikan pula oleh Bayern. Mereka meyakini format saat ini sudah bisa jadi dasar kompetisi yang unggul. Tinggal bagaimana reformasi dilakukan agar sepakbola Eropa semakin berkembang ke arah positif.
Namun, ada beberapa faktor lain yang diduga memperkuat alasan penolakan para jawara Bundesliga tersebut. Pertama, kekuatan fans dari klub-klub Jerman.
Perlu kamu tahu mayoritas klub profesional Jerman tunduk pada aturan 50+1, yaitu mengabadikan kepemilikan klub pada mayoritas anggota klub maupun penggemar. Aturan itu didesain sebagai antisipasi masuknya investor swasta ke dalam klub yang kerap mengambil alih kendali atas klub, sesuatu yang lazim di English Premier League.
Bisa dibilang suara penggemar klub tersebut begitu vokal dan terorganisir sehingga klub pun mau mendengarkan aspirasi mereka. Belakangan, hal itu juga diperkuat oleh faktor penting lainnya.
Peran Mantan Pesepakbola di Manajemen Klub
Ya, manajemen klub Jerman rata-rata digawangi oleh mantan pesepakbola. Para legenda tersebut mampu memandang tiap persoalan klub dari perspektif berbeda dibandingkan mereka yang mengelola klub demi tujuan komersial semata.
Karl-Heinz Rummenigge, CEO Bayern, menyebutkan bergabung dengan ESL bisa menimbulkan kesulitan banyak pihak mengidentifikasi sepakbola. Dalam jangka panjang, hal tersebut dapat berdampak serius pada keberlangsungan liga nasional.
Sementara, Hans-Joachim Watzke dari Dortmund sudah menegaskan penolakan terhadap ESL. Namun, ia juga mensyaratkan UEFA merombak format Champions League demi menghadiahi kompensasi lebih baik pada klub peserta.
Lebih lanjut, pihak DFL atau German Football League sudah merilis pernyataan penolakan mereka terhadap konsep Dirty Dozens ESL. CEO DFL, Christian Seifert menyindir bagaimana kepentingan ekonomi para klub kaya tersebut tidak dapat meruntuhkan struktur yang telah berjalan di jagat sepakbola Eropa.
Dengan pernyataan tegas dari DFL, jelas tidak ada lagi alasan bagi Dortmund dan Bayern untuk bergabung dengan Dirty Dozens ESL. Sejauh ini, keputusan keduanya terbilang tepat sehingga mereka bisa fokus bertanding alih-alih memikirkan sesuatu yang masih sebatas wacana.